Kamar Belakang

SAMAR dan kabur pandangan Nastiti, saat kedua kakinya menginjak lantai ruang tamu. Lututnya kian gemetar menjaga keseimbangan tubuh yang mulai goyah. Mencoba berdiri lebih tegak, Nastiti benar-benar tak kuat, buru-buru merapat dinding, merambat persis seekor cicak. Nastiti menghampiri kamar depan yang paling dekat, membuka pintu dengan sisa tenaga yang ada, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk. Perlahan-lahan kelopak matanya mengatup.

Di kamar belakang, masih setengah telanjang, Sawitri dan Wiguno pucat. Sekian menit mereka menahan napas, tak tahu harus berbuat apa. Wiguno tak menduga sama sekali jika Nastiti, istrinya, pulang lebih cepat dari biasanya. Tapi tiba-tiba Wiguno heran, tak mendengar lagi suara Nastiti. Wiguno jadi penasaran tak yakin jika istrinya sudah pulang. Anak-anak muda Karang Taruna suka nyelonong masuk rumah memberi undangan. Wiguno hendak keluar memastikan siapa yang datang, tapi tiba-tiba Sawitri menahan lengannya. Kuat.

"Sstt! Jangan cari perkara!" Suara Sawitri pelan, tapi tajam.
Wiguno urung melangkah, menatap Sawitri yang sibuk mengenakan kutang. Ada kecewa di mata Wiguno. Ada hasrat yang belum lunas. "Kita belum selesai…" Wiguno menelan ludah.

"Edan, kamu!"
"Tenang. Paling cuma anak-anak ngasih undangan. Mereka sudah pergi…" Meski belum terlalu yakin dengan dugaannya, Wiguno berusaha meyakinkan Sawitri. Tatap matanya berubah serius. Sawitri menarik napas dalam-dalam tak begitu yakin dengan ucapan Wiguno. Sawitri masih merasakan jantungnya berdebar kencang. Tapi setelah berpikir beberapa saat, dengan isyarat mata akhirnya Sawitri menyuruh Wiguno keluar. Entah, giliran Wiguno yang tiba-tiba ragu.

Lama Wiguno berdiri di depan pintu kamarnya, merapikan rambut dan mencoba bersikap wajar, sebelum kakinya bersijingkat menghampiri kamar depan. Pelan dan hati-hati langkah Wiguno takut menimbulkan bunyi. Takut Nastiti benar-benar sudah pulang. Tapi rumah itu sangat sepi hingga Wiguno bisa mendengar aliran napasnya sendiri. Wiguno terus melangkah. Kali ini lebih pelan.

Pintu kamar depan tidak ditutup rapat. Wiguno melongok dan jantungnya hampir lepas. Di atas ranjang istrinya tidur lelap. Wajahnya letih, sayu. Tas kerjanya jatuh di lantai hingga benda-benda di dalamnya berserak. Wiguno segera tahu, istrinya sedang tak enak badan sehingga pulang lebih cepat. Wiguno juga hapal, istrinya belum lama tidur dan bangunnya pasti lama. Wiguno segera beringsut ke kamar belakang. Ia tak punya waktu banyak. Ada hasrat yang belum tuntas.

Sawitri kaget tiba-tiba Wiguno menyergap dari belakang. Dengus napasnya liar. Matanya menyala. Sawitri heran, tak biasanya Wiguno bersikap kasar dan buru-buru. Tapi Sawitri tak bisa berkelit. Tak boleh menjerit. Berkali-kali Wiguno memberi isyarat agar jangan bersuara terlalu keras. Wiguno membopong tubuh Sawitri, dihempas ke atas ranjang. Melucuti pakaiannya seperti kesetanan. Augh!
***
NASTITI bangun mendengar suara sepeda motor masuk halaman. Bangkit dari ranjang, Nastiti merasakan badannya jauh lebih enak. Ia segera mengintip gordyn jendela melihat siapa yang datang. Tampak di halaman, Palastra, teman sesama guru di SMP sedang memarkir sepeda motor. Nastiti cepat-cepat menyisir rambutnya yang kusut. Lalu, setengah berlari menghampiri pintu depan, persis bersamaan Palastra mengetuk pintu.

"O, Pak Palastra. Mari, mari, masuk." Nastiti tersenyum ramah, membuka pintu mempersilahkan Palastra masuk.
Palastra yang berdiri di depan pintu sedikit grogi melihat senyum ramah Nastiti. Ia tak menduga Nastiti sendiri yang akan membuka pintu, menyambutnya. Tapi memang, diam-diam sudah lama ia memendam kagum pada Nastiti. Mungkin sejak pertama kali bertemu, saat Nastiti mulai mengajar sebagai guru honorer. Selalu ada perasaan aneh menyusup dalam jantungnya. Apalagi ketika teman-teman sesama guru suka meledek bahwa Nastiti sangat mirip dengan mendiang istrinya yang sudah meninggal empat tahun lalu.

"Ehm….Tidak usah. Di sini saja. Saya hanya mengantar hasil ulangan anak-anak…" Palastra benar-benar belum bisa menguasai groginya, menyerahkan setumpuk kertas hasil ulangan pada Nastiti. Tangannya gemetar, berkeringat.

"Aduh, saya jadi merepotkan," ucap Nastiti merasa bersalah.
"Tidak apa-apa. Tadi sebenarnya mau saya bawa pulang ke rumah. Saya takut Bu Nastiti belum sembuh. Tapi saya lihat Bu Nastiti sudah baikan. Mudah-mudahan besok sudah bisa mengajar." Berkata demikian, Palastra merogoh saku celana, agak buru-buru, mengeluarkan kunci sepeda motor. "Sekarang saya permisi dulu. Sudah sore…."

Nastiti hanya mengangguk-angguk, tak sempat menjawab. Laki-laki itu keburu memutar badannya berjalan menghampiri sepeda motor. Nastiti terus menatap Palastra hingga sepeda motor yang dikendarainya bergerak meninggalkan halaman rumah. Nastiti bukannya tidak tahu, tadi Palastra grogi berhadapan dengan dirinya. Ah, bukan hanya tadi saja, tapi selalu dalam setiap pertemuan.

Nastiti sering merasa kasihan pada Palastra yang ramah dan baik hati. Berkali-kali Palastra membantu dirinya. Apalagi setelah mendengar cerita dari para guru tentang masa lalu Palastra. Nastiti jadi semakin bingung, tak tahu bagaimana harus bersikap di depan guru matematika kelas tiga yang masih cukup muda dan tampan itu. Nastiti sadar, sangat sadar, sesekali dirinya juga grogi dan salah tingkah setiap kali Palastra menatapnya dari kejauhan. Tatapan Palastra begitu dalam.
***
SAWITRI buru-buru membalikkan badannya menghadap tembok, pura-pura tidur, ketika mendengar langkah kaki Muntar, suaminya, berjalan menuju kamar. Sejak nonton tv sore tadi, Sawitri sudah bisa membaca gelagat laki-laki itu. Selalu ada maunya setiap kali beli makanan banyak. Apalagi malam Minggu. Muntar bisa begadang sampai pagi, melakukannya berkali-kali.

Sampai di kamar, Muntar kecewa melihat Sawitri sudah tidur. Muntar ikut rebah di sebelah Sawitri, tapi matanya hanya merem melek tak kunjung bisa tidur. Berkali-kali Muntar hendak membangunkan Sawitri, tapi selalu ragu. Dalam hati Muntar heran, tak biasanya Sawitri tidur sore. Apalagi malam Minggu. Muntar terus menatap Sawitri yang tidur di sebelahnya hingga lama-lama timbul keberanian untuk membangunkan Sawitri.

Tapi tidur Sawitri tampak sangat lelap. Sekujur tubuhnya ditutup selimut. Berkali-kali Muntar berusaha membangunkan, tapi selalu gagal. Perempuan itu tak bergerak sedikit pun, kaku seperti kayu. Muntar menelan ludah, kecewa berat. Sudah lama ia tak berhubungan badan.
***
DUDUK di bangku pojok kantor guru, Nastiti terlihat tekun memeriksa hasil ulangan matematika murid kelas dua. Nastiti malas membawa pulang kertas-kertas hasil ulangan, khawatir justru tak bisa selesai. Para guru dan murid sudah lama pulang, membuat sekolah itu tampak sepi. Mungkin hanya tinggal penjaga sekolah dan penjaga kantin di belakang.

O, ternyata tidak! Palastra tergopoh-gopoh masuk kantor hendak mengambil beberapa buku yang tertinggal. Palastra kaget mendapati Nastiti masih di kantor. Nastiti pun tak kalah terkejutnya, saat matanya beradu dengan mata Palastra. "Bbelum pulang?" tanya Palastra gugup, masih belum hilang terkejutnya.

"Belum. Aku malas mengerjakan di rumah."
"Mau kuantar sekalian?" Palastra memberanikan diri mendekat.
Entah, Nastiti mendadak gugup. Mungkin sejak tadi, saat beradu pandang. Tatap mata Palastra begitu dalam. Seperti menyimpan magnet, menggetarkan. Nastiti semakin salah tingkah melihat Palastra mendekati dirinya. Pikirannya sudah tak konsentrasi lagi dengan kertas-kertas hasil ulangan yang bertumpuk di atas meja. Kini Palastra sudah berdiri di depannya. Anggun. Berwibawa.

"Mau kubantu?"
Nastiti menggeleng. "Terima kasih. Sedikit lagi selesai…"
Tapi Palastra sudah duduk di kursi samping Nastiti. Nastiti merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Debar yang sama dirasakan oleh Palastra. Apalagi saat angin dari jendela meniup rambut Nastiti. Beberapa helai rambutnya melayang menerpa wajah Palastra. Harum dan lembut. Palastra tiba-tiba tak bisa menguasai diri. Ada sesuatu yang tiba-tiba menguap dari ingatannya. Ingatan seorang laki-laki yang empat tahun bertahan hidup seorang diri. Dan, Nastiti adalah perempuan cantik yang selalu mengingatkannya pada mendiang istrinya.

Palastra benar-benar tak bisa menahan diri. Diraihnya tangan Nastiti yang lembut. Sudah lama ia tak merasakan kelembutan tangan seorang perempuan. Seperti tak sadar, Nastiti hanya diam. Tubuhnya bergetar gemetar. Palastra kemudian meraih wajah Nastiti, dihadapkan ke wajahnya. Ada rongga sunyi di mata Palastra. Ada lorong kelam di sana. Nastiti bisa melihat kesunyian dan kekelaman itu kini mulai menjalar tubuhnya, membuat dirinya hanyut, terlena, menikmati cumbu Palastra.

Tapi sejurus kemudian tiba-tiba Nastiti berontak melepaskan diri. Sesaat Palastra tersentak, kaget. Tapi Palastra segera sadar, telah membuat kekeliruan. Palastra merasa malu. Wajahnya berubah pucat penuh rasa bersalah dan penyesalan. Nastiti merasa lebih malu lagi, segera menyambar tas di atas meja lalu lari keluar.
"Nastiti, demi Tuhan, aku khilaf. Maafkan aku! Maafkan aku!" Palastra berteriak, tapi Nastiti terus lari. Pulang.
***
SAMAR dan kabur pandangan Nastiti saat kedua kakinya menginjak lantai ruang tamu. Lututnya kian gemetar menjaga keseimbangan tubuh yang mulai goyah. Nastiti merasakan kepalanya pening, berdenyut-denyut. Peristiwa di sekolah barusan membuat dirinya sangat terpukul. Ia merasa malu pada dirinya sendiri. Dengan sisa tenaga yang ada, Nastiti menghampiri kamar depan, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk. Perlahan-lahan kelopak matanya mengatup.

Di kamar belakang, masih setengah telanjang, Sawitri dan Wiguno pucat. Sekian menit mereka menahan napas, tak tahu harus berbuat apa. Wiguno menyesal lupa tak mengunci pintu depan. Tapi tiba-tiba Wiguno heran, tak mendengar lagi suara orang yang baru masuk rumahnya. Wiguno jadi penasaran, tak yakin jika istrinya sudah pulang. Wiguno hendak keluar memastikan siapa yang datang, tapi tiba-tiba Sawitri menahan lengannya. Kuat.

"Sstt! Jangan cari perkara!" Suara Sawitri pelan, tapi tajam.
"Kita belum selesai…." Wiguno menelan ludah.

"Edan, kamu! Mau berapa kali lagi?!"
"Sehari tiga kali, seperti minum obat…" Wiguno melucu.

Sawitri tersenyum. "Ya, sudah, sana lihat!"
Wiguno segera bersijingkat menghampiri kamar depan. Untung pintunya tak ditutup rapat. Ia cukup melongokkan kepalanya dan segera tahu di atas ranjang istrinya tidur lelap. Wiguno menduga istrinya sedang tak enak badan. Wiguno segera beringsut ke kamar belakang. Ia tak punya waktu banyak. Ini untuk permainan terakhir kalinya. Siang ini. Yang ke empat!

Menu Makan Malam

Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi
Ibu bersumpah untuk membangun keluarganya di atas meja makan. Ia terobsesi mewujudkan keluarga yang bahagia melalui media makan bersama. Maka, ia menghabiskan hidupnya di dapur, memasak beribu-ribu bahkan berjuta-juta menu makanan hanya untuk menghidangkan menu masakan yang berbeda-beda setiap harinya. Ia memiliki jutaan daftar menu makan malam di lemari dapurnya. Daftar itu tersusun rapi di dalam sebuah buku folio usang setebal dua kali lipat kamus besar Bahasa Indonesia, berurut dari menu masakan berawal dengan huruf A hingga Z. Ia menyusun sendiri kamus itu sejak usia perkawinannya satu hari hingga kini menginjak usia 25 tahun. Di sebelah kamus resep masakan itu, bertumpuk-tumpuk pula resep masakan dari daerah Jawa, Madura, Padang, bahkan masakan China. Belum lagi kliping resep masakan dari tabloid-tabloid wanita yang setebal kamus Oxford Advanced Learner.

Isi kepala Ibu memang berbeda dengan ibu lain. Dalam kepalanya seolah hanya ada tiga kata, menu makan malam. Setiap detik, setiap helaan napasnya, pikirannya adalah menu-menu masakan untuk makan malam saja. Makan malam itulah ritual resmi yang secara tersirat dibikinnya dan dibuatnya tetap lestari hingga saat ini. Meskipun, ketiga anaknya telah beranjak dewasa, ia tak pernah surut mempersiapkan makan malam sedemikian rupa sama seperti ketika ia melakukannya pertama, sejak usia pernikahannya masih satu hari.

Keluarga ini tumbuh bersama di meja makan. Mereka telah akrab dengan kebiasaan bercerita di meja makan sambil menikmati menu-menu masakan Ibu. Mereka berbicara tentang apa saja di meja makan. Mereka duduk bersama dan saling mendengarkan cerita masing-masing. Tak peduli apakah peristiwa-peristiwa itu nyambung atau tidak, penting bagi yang lain atau tidak, pokoknya bercerita. Yang lain boleh menanggapi, memberi komentar atau menyuruh diam kalau tak menarik. Muka-muka kusut, tertekan, banyak masalah, stres, depresi, marah, kecewa, terpukul, putus asa, cemas, dan sebagainya, bisa ditangkap dari suasana di atas meja makan. Sebaliknya muka-muka ceria, riang, berseri, berbunga-bunga, jatuh cinta, juga bisa diprediksi dari ritual makan bersama ini. Ibu yang paling tahu semuanya.

Ia memang punya kepentingan terhadap keajegan tradisi makan bersama ini. Satu kepentingan saja dalam hidupnya, memastikan semua anggota keluarganya dalam keadaan yang ia harapkan. Bagi Ibu, sehari saja ritual ini dilewatkan, ia akan kehilangan momen untuk mengetahui masalah keluarganya. Tak ada yang bisa disembunyikan dari momen kebersamaan ini. Dan kehilangan momen itu ia rasakan seperti kegagalan hidup yang menakutkan. Ia tak mau itu terjadi dan ia berusaha keras untuk membuat itu tak terjadi.

Ia tak berani membayangkan kehilangan momen itu. Sungguh pun tahu, ia pasti menghadapinya suatu saat nanti, ia merasa takkan pernah benar-benar siap untuk itu. Yang agak melegakan, semua anggota keluarganya telah terbiasa dengan tradisi itu dan mereka seolah menyadari bahwa Ibu mereka memerlukan sebuah suasana untuk menjadikannya "ada". Semua orang tahu dan memakluminya. Maka semua orang berusaha membuatnya merasa "ada" dengan mengikuti ritual itu. Namun, kadang beberapa dari mereka menganggap tradisi ini membosankan.
***
Jam empat pagi. Ibu telah memasak di dapur. Ia menyiapkan sarapan dengan sangat serius. Ibu tak pernah menganggap memasak adalah kegiatan remeh. Ia tak pernah percaya bahwa seorang istri yang tak pernah memasak untuk keluarganya adalah seorang Ibu yang baik. Jika ada yang meremehkan pekerjaan memasak, Ibu akan menangkisnya dengan satu argumen: masakan yang diberkahi Tuhan adalah masakan yang lahir dari tangan seorang Ibu yang menghadirkan cinta dan kasih sayangnya pada setiap zat rasa masakan yang dibikinnya. Ibu meyakini bahwa makanan adalah bahasa cinta seorang Ibu kepada keluarganya, seperti jembatan yang menghubungkan batin antarmanusia. Sampai di sini, anak-anaknya akan berhenti mendengar penjelasan yang sudah mereka hapal di luar kepala. Ibu takkan berhenti bicara kalau kedamaiannya diusik. Dan yang bisa menghentikannya hanya dirinya sendiri.

Sarapan tiba. Ibu menyiapkan sarapan di dapur. Ia menyiapkan menu sesuai dengan yang tertera di daftar menu di lemari makanan. Telur dadar, sayur hijau dan sambal kecap. Ada lima orang di keluarganya. Semua orang memiliki selera berbeda-beda. Suaminya suka telur yang tak matang benar, agak asin, tanpa cabe. Aries suka telur yang benar-benar tergoreng kering, dan harus pedas. Pisca, suka makanan serba manis. Telur dadarnya harus setengah matang dengan kecap manis dan sedikit vitsin. Sedangkan Canestra, tak suka pada kuning telur. Sebelum didadar, kuning telur harus dipisahkan dulu dari putihnya. Jika tidak dibuatkan yang sesuai dengan pesanannya, ia bisa mogok makan. Berhari-hari.

Bagaimana dengan Ibu? Ibu bahkan tak pernah macam-macam. Telur dadarnya adalah yang standar, tidak ada perlakuan khusus. Ia boleh makan apa saja, yang penting makan, jadilah.

Pukul 07.05. Telur dadar setengah matang asin, telur dadar pedas, telur manis dengan vitsin, dan telur tanpa kuning, berikut sayur hijau dan sambal kecap telah terhidang. Semua telah menghadapi hidangan masing-masing sesuai pesanan. Makan pagi biasanya tak ada yang terlalu banyak bicara. Semua sibuk dengan rencana masing-masing di kepalanya. Kelihatannya, tak ada yang ingin berbagi. Aries kini sudah bekerja di sebuah kantor pemerintah, menjadi tenaga honor daerah. Ia harus tiba di kantor setidaknya pada tujuh dua lima, karena ada apel setiap tujuh tigapuluh. Pisca harus ke kampus. Ia duduk di semester tujuh kini. Tampaknya sedang tak bisa diganggu oleh siapa pun. Wajahnya menunjukkan demikian. Mungkin akan bertemu dengan dosen pembimbing atau entah apa, tapi mukanya keruh. Mungkin banyak persoalan, tapi Ibu cuma bisa memandang saja. Sedang Canestra masih di SMA. Ia tampak paling santai. Tangannya memegang komik. Komik Jepang. Makan sambil membaca adalah kebiasaannya. Sang Bapak, duduk diam sambil mengunyah makanan tanpa bersuara dan tanpa menoleh pada yang lain. Pria yang berhenti bekerja beberapa tahun lalu itu tampak lambat menyelesaikan makannya. Ia menikmati masakan itu, atau tidak peduli? Tak ada yang tahu.

Satu per satu mereka meninggalkan ruang makan. Hanya piring-piring kotor yang tersisa di meja makan. Ibu membawanya ke dapur, mencuci piring-piring itu sampai bersih dan mengelap meja makan. Ritual berikutnya adalah menyerahkan anggaran belanja ke pasar hari itu kepada suaminya. Saat-saat inilah yang paling ia benci seumur hidupnya. Ia benci menerima uang dari suaminya yang selalu tampak tak rela dan tak percaya.

Akhirnya, memang bahan-bahan menu itu dipangkas seenak udelnya, ia tak mau tahu apa pun. Ujung-ujungnya ia cuma memberi sepuluh ribu saja untuk semua itu. Tentu saja kurang dari anggaran yang seharusnya, dua puluh ribu. Untuk itu semua, maka otomatis menu berubah; tak ada ayam bumbu rujak, tak ada capcay, yang ada tinggal perkedel jagung dan tempe. Sayur hijau, katanya, bolehlah. Yang penting sayur, dan murah. Ah…

Ibu berjalan ke pasar dengan gontai. Hari itu Jumat. Hari pendek. Anak-anak akan pulang lebih cepat dari biasa. Ia mempercepat langkahnya. Tak mudah membagi waktu, kadang pekerjaan teramat banyaknya sampai-sampai tak ada waktu untuk melakukan hal lain selain urusan dapur. Kadang ia berpikir ada sesuatu yang memang penting untuk dilakukan tapi itu akan mengabaikan urusan dapur dan itu berarti pula mengabaikan selera anak-anaknya. Itu tidak mungkin. Tak ada yang mengerti selera anak-anaknya kecuali dia.

Tapi kadang ia bosan berurusan dengan menu-menu. Ia telah mencoba semua menu yang ada di buku-buku masakan, ia telah mencoba semua resep masakan di teve, dan ia kehabisan ide suatu ketika. Ia mencatat menu-menu yang sudah pernah dibikinnya. Serba-serbi sambal: sambal goreng krecek, sambal goreng hati, sambal godog, sambal kentang, sambal bawang, sambal kecicang, sambal serai, dll. Aneka ca, semacam: ca sawi, ca kangkung, ca bayam, ca tauge, ca bunga kol, dll. Semua jenis perkedel dan gorengan kering: perkedel ketimun, perkedel kentang, perkedel jagung, pastel kentang, kroket kentang, dan seterusnya. Sampai makanan golongan menengah dilihat dari mahalnya bahan pokok semacam: babi kecap, gulai kare ayam, gulai udang, sate bumbu rujak, opor ayam, sup kaki ayam dengan jamur tiongkok, dendeng sapi, kepiting goreng. Juga serba-serbi makanan China semacam: shiobak, koloke, fuyung hai, ang sio hie, hao mie, tao mie, dan seterusnya. Daftar ini masih akan bertambah panjang kalau disebutkan serba-serbi pepes, serba-serbi urap, atau serba-serbi ikan.

Semua menu sudah dicobanya habis tak bersisa, tapi sepertinya masih saja ada sesuatu yang kurang. Ia pun lebih kerap berkreasi, satu menu masakan kadang-kadang dipadu dengan menu masakan lain, misalnya pepes tempe, gulai pakis, sate tahu, dan sebagainya. Tapi masih saja menu-menu itu terasa tak cukup untuk membuat variasi menu yang berbeda setiap harinya. Karena itulah yang akan membuat keluarganya betah dan merindukan makan malam.

Ia pernah merasa ingin berhenti saja memikirkan menu-menu itu, tapi suaminya akan berkata, "Kau telah memilih menjadi perempuan biasa-biasa saja, tidak bekerja dan melayani keluarga. Bahkan kau bersumpah akan membangun keluarga di atas meja makan, kenapa tidak kau pikirkan sebelumnya?"

Ibu merenungkan kata-kata suaminya. Ada yang salah terhadap penilaian-penilaian. Ada yang tak adil di dalamnya. Hampir selalu, yang menjadi korban adalah mereka yang dinilai, mereka yang tertuduh, mereka yang melakukan sesuatu tapi dinilai salah dan dianggap biasa-biasa saja. Tapi apa sesungguhnya yang terjadi dengan biasa dan tak biasa? Apa yang menentukan yang biasa dan yang tak biasa? Menjadi Ibu adalah sangat luar luar luar biasa. Apakah seorang ibu rumah tangga yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk keluarga lebih biasa daripada seorang ibu yang tak pernah sekalipun berpikir tentang keluarganya, meski ia punya tujuh perusahaan dan kaya raya? Lagipula, itu cuma perasaan, bukan angka-angka dalam matematika, namanya juga perasaan. Tercium bau hangus. Ibu tersentak dari lamunannya. Tempenya gosong.

Ia menyudahi goreng-menggoreng tempe itu. Lalu dengan bergegas ia menyambar sekeranjang cucian kotor, mulai mencuci. Anaknya datang satu per satu. Ibu belum selesai mencuci. Ia agak tergesa karena harus menyiapkan makan siang untuk anak-anaknya. Setelah menyiapkan makan siang, ia kembali bekerja, menyelesaikan cucian.

Makan siang Ibu adalah jam 3 sore. Setelah itu, ia tidur dua jam. Sehabis jam 5 sore, sehabis tidur siangnya, ia harus menyiapkan makan malam. Sehabis makan malam, jangan kira ia selesai. Ada Bapak yang setiap hari minta dipijit, tapi setiap hari mengeluh pijitan Ibu tak pernah mengalami kemajuan. Ah…

Dia melakukannya selama sisa hidupnya. Ia berkutat dengan semua itu selama puluhan tahun, tak pernah ada yang memujinya, dan ia pun tak ingin dipuji, tapi itukah yang disebut perempuan biasa?

Suatu ketika, sebuah peristiwa datang mengusik keluarga itu.
Hari itu Selasa, ketika sebuah perubahan memperkenalkan dirinya kepada keluarga itu. Aries menolak makan bersama. Ia tentu punya alasan di balik aksi mogoknya. Tapi tak ada yang tahu apa alasan Aries.

Ibu kecewa. Menu makan malamnya tak dicicipi selama tiga hari berturut-turut. Ini adalah beban mental bagi seorang Ibu. Ia bukanlah orang yang suka memaksa, tapi selalu membaca dari tanda-tanda dan suka juga menebak-nebak. Sialnya, Aries tak pernah memiliki cukup waktu untuk menjelaskan semua itu. Ia tampak begitu sibuk. Kadang ia bahkan terlihat menyibukkan diri, menghindar dari Ibu. Ia menomorduakan ritual makan malam mereka. Ibu menangis, ia merasa segala usahanya untuk membangun tradisi makan malam ini sia-sia saja. Salahkah jika ia berusaha membikin sesuatu yang kelak retak menjadi abadi? Mungkin memang salah, tapi dulu tak seorang pun cukup berani menunjukkan di mana letak salahnya, tak seorang pun tega mengecewakan Ibu. Tapi Aries, kini telah membuatnya kecewa secara nyata.

Suasana menjadi semakin keruh ketika di hari kelima, keenam dan ketujuh, Aries juga absen makan malam.
Ibu bertindak. Ia masuk ke kamar si sulung, lalu, mungkin, bicara di sana. Pisca dan Canestra duduk di depan tivi, tidak mendengar apa-apa.

Satu jam kemudian, Ibu keluar dengan wajah murung, tapi dibikin agar kelihatan berseri. Ia tampak aneh.
"Aku tahu selama ini kita tak pernah jujur dengan makan malam itu. Satu-satunya yang jujur hanya dia. Kita semua sudah bosan, ya kan? Ibu juga. Dan mulai saat ini, tidak ada lagi kebohongan apa pun. Tinggalkan saja jika kalian memang tak setuju. Ibu juga sudah lelah memikirkan menu-menu makan malam untuk kalian. Ibu ingin merasa tidak perlu menyiapkannya untuk kalian. Ibu akan mencoba. Selamat bersenang-senang!"

Ibu terlihat enteng menyelesaikan persoalannya. Bapak menyusul Ibu ke kamar. Mudah-mudahan mereka bercinta. Ah ya mereka sepertinya tak pernah bercinta lagi sejak beberapa tahun ini. Padahal itu perlu, terutama bagi Ibu yang lelah luar biasa. Fisik dan jiwa.

Pisca menyelinap masuk ke kamar Aries, meninggalkan Canestra yang masih asyik nonton tivi. Ia sungguh ingin tahu, apa yang dibicarakan Ibu dan Aries, sehingga Ibu keluar dengan wajah aneh, murung tapi dipaksakan berseri. Pisca bertanya, "Ada apa?" Aries tak menjawab, namun tiba-tiba menangis dan menenggelamkan wajahnya di bawah bantal. Dengan sesenggukan, ia berkata, "Untuk apa lagi mempertahankan sebuah kepalsuan di depan Ibu? Salah satu dari kita semua telah mengkhianati Ibu, untuk apa lagi semua ini dipertahankan?"

Pisca menangkap ucapan kakaknya dengan jelas, namun ia tak mengerti, dan tak ingin mengerti, karena semua itu terlalu menyedihkan baginya. Apalagi yang lebih menyedihkan ketika tahu seseorang telah berkhianat kepada Ibu? Siapa pun dia, Pisca tak ingin tahu. Ia tak ingin mendendam, apalagi terhadap keluarganya sendiri. Tapi, bukankah Ibu selalu tahu apa yang terjadi? Semua pertanyaan bertumpuk-tumpuk di kepalanya.

Sesuatu yang kelak retak, yang Ibu pernah berusaha membikinnya abadi, kini sudah benar-benar retak berkeping-keping dan tak mungkin disatukan lagi. Sejak saat itu, makan malam bersama tidak rutin lagi bagi mereka. Hanya Ibu yang masih betah di sana. Sesekali Pisca atau Canestra mendampinginya. Mungkin tiba saat ketika ia benar-benar rindu makan malam bersama.

Sialnya, Bapak benar-benar tak memahami persoalan dengan baik. Ia sok bijak dan pandai. Kata-katanya sungguh tak tepat untuk menggambarkan seluruh keadaan ini.

"Benar kan, Ibumu memang perempuan biasa-biasa saja. Ia bahkan menganggap hal remeh ini sebagai kiamat dalam hidupnya!"
Pisca meradang. Ia merasa Bapak yang sombong itu harus dihentikan.

"Apa yang biasa? Apa yang tak biasa? Bapak juga laki-laki biasa, yang tak bisa seperti Ibu. Bapak jauh lebih biasa dari Ibu. Ibu, setidaknya berusaha membikin tradisi agar kita tahu arti kebersamaan sekalipun di atas meja makan. Tapi lihatlah Bapak yang hanya suka mengejek tapi tak pernah melakukan apa pun, bahkan tak pernah berusaha melakukan apa pun!"

Bapak diam. Dia kelihatan tersinggung. Tapi Pisca suka dan puas membuatnya tersinggung. Pisca memutuskan untuk menemui Ibu. Ibu menyambutnya dengan senyum. Ia tahu Pisca akan berbicara soal Bapak, soal biasa dan tak biasa. Ibu mencegahnya bicara lebih dulu, "Begini. Bapak benar soal Ibu yang biasa-biasa saja. Ini sudah seharusnya. Ibu menerima semua itu, bukan karena Ibu pasrah tapi Ibu mengerti betul kalian semua dan juga persoalan ini. Ibu memang perempuan biasa, tak ingin menjadi yang tak biasa. Ibu mencintai Bapak, kalian semua. Ibu tak bisa memberi uang, maka Ibu cuma memberi kemampuan Ibu memasak, itu pun jika kalian mau menikmatinya."

"Tapi Bu, ini penghinaan. Masalah makan malam itu bukan masalah sekadar, bukan masalah remeh temeh. Sebesar itu usaha Ibu membangun tradisi kebersamaan di keluarga kita, tapi Bapak bahkan menganggapnya tak ada. Kita belajar satu sama lain di meja makan itu, kita memutuskan hidup kita di atas meja makan itu, dan ingat, ketika Bapak berhenti bekerja di kantor karena penyelewengan dana yang sangat memalukan itu, yang menolong Bapak adalah kita, juga di atas meja makan itu."

"Bapak kini sedang merasa kesepian, ia kehilangan saat-saat terbaiknya, itu hal tersulit yang pernah ditemuinya. Kita harus memahami itu."

Dari beranda, Bapak mendengar semua percakapan itu. Ia berpikir bahwa istrinya memang baik, pengertian dan sabar, tapi sungguh ia sangat biasa, dan yang terpenting, tak menggairahkan.

Senja

Sering dibayangkannya bahwa awan-awan yang putih di bentangan langit biru itu adalah pulau-pulau kapas. Kadang, awan itu membentuk bentangan air terjun yang membeku, atau gunung karang putih yang mengambang di lautan biru.

Sehari penuh dia amati setiap perubahan yang ada di langit sana. Dan ketika awan-awan itu kian memerah dan akhirnya hilang oleh gelap malam, dia pun berjalan pulang ke rumahnya. Di sapanya rumput, batu, tanah dan perdu. Disenyuminya angin yang dengan nakal menyusup-nyusup di sela rambutnya.

Sesampainya di rumah, dia disambut keheningan yang berjingkrak-jingkrak bagai kanak-kanak menyambut ibu pulang dari pasar. Gelap, beranda rumahnya, berisi kursi plastik yang jebol di sana-sini, serta selapis debu siang hari.

Disapanya mawar merah dalam pot di beranda itu dengan siraman air. Kemudian dinyalakannya saklar dan beranda menunjukkan wajahnya yang samar-samar. Beberapa serangga mengitari bola lampu, seperti bergembira menyaksikan kehidupan ada di rumah itu.

Apa yang bisa dilakukannya setelah semua pintu kantor tertutup baginya? Tak ada lagi sisa pekerjaan. Kantor tak membutuhkan seorang laki-laki kurus, apatis, dan lamban seperti dia. Kantor tak membutuhkan otak yang selalu menolak dan menilai sebuah tugas. Tidak. Pintu-pintu kantor terbuka bagi mereka yang muda, gesit, dan tak banyak tanya; kecuali jumlah billing yang akan diterima kantor. Mereka bicara hanya soal insentif.

Laki-laki itu mendesah. Sejak semuanya tersapu badai krisis 98, istrinya pun minggat bersama --entah siapa. Meninggalkan semua, bahkan juga kenangan.

Laki-laki itu duduk, setelah tentu saja mandi, memasak mi instan dan memakannya di beranda. Sebatang kretek menyala dan terselip di sela jarinya yang kurus. Entah mengapa, dia ingin sekali menengok kotak pos di pagar. Dengan lesu, dia berjalan dan membuka kotak pos itu. Tak di sangkanya di sana ada sepucuk surat.

Dengan harap-harap cemas dia segera mengambil surat itu, membukanya buru-buru, dan mencari tempat di bawah lampu untuk membacanya.
Surat itu berasal dari seseorang yang tak dikenalnya. Si pengirim menyebutkan bahwa dia mendapatkan alamat serta nama si laki-laki itu dari seseorang yang "...kenal betul dengan bakat anda..", begitu yang tertulis di situ.

Dia tertegun. "Bakat?" gumamnya. Lalu dilanjutkannya membaca. Intinya, setelah panjang lebar menguraikan berbagai hal, si pengirim meminta laki-laki itu untuk bertandang ke rumahnya di kompleks perumahan mewah di kota itu.

Aneh. Mengapa dia tak langsung saja datang. Mengapa harus berkirim surat, jika tinggal di kota yang sama? Di situ, di bawah tanda tangan si pengirim, disertakan sebuah nomor telepon.

Usai membaca, laki-laki itu duduk lagi di kursi plastik jebolnya. Ada sesuatu yang tiba-tiba muncul di benaknya --entah apa, dia sendiri tak begitu paham. Dengan cepat dihisapnya rokok kretek itu. Asap mengepul-ngepul, sebelum lenyap ditiup angin.

Bergegas pula dia ke telepon, dan sambil melihat nomor yang ada di surat itu dia pun menekan-nekan angka yang dimaksud. Dia terdiam beberapa saat. Kemudian, "Haloo..." dan terjadilah pembicaraan yang agak tersendat-sendat.

Laki-laki itu banyak terdiam, mendengarkan. Jika pun harus menjawab, bibirnya hanya menyuarakan "oke" atau "baik", dan paling banyak "ya". Pembicaraan itu akhirnya selesai, setelah si laki-laki menjawab, "sama-sama."

Kembali dia duduk di beranda, sambil mencoba menyatukan berbagai kilasan bayangan di pembicaraan telepon tadi. Dinyalakannya sebatang rokok lagi. Lalu, sesaat setelah hisapan ketiga baru saja dilakukan, dia seakan mendapat jawaban akan apa yang seharusnya dilakukan.
***
Hari itu adalah hari ketiga dia "bekerja" di rumah si pengirim surat. Dan bahkan sampai hari ketiga itu pun, dia tak tahu siapa si pengirim surat. Dia hanya berhubungan dengan seseorang yang memperkenalkan diri sebagai "pembantu" si tuan rumah. Dan si "pembantu" itu pun enggan menyebutkan namanya. Laki-laki kurus itu tak keberatan. Apalah artinya dia mengetahui nama seseorang, jika hal itu tidak berhubungan dengan pekerjaannya. Bukankah dunia tempat dia hidup sudah memberinya semacam ekosistem seperti itu?

Seperti dua hari sebelumnya, dia duduk dan menunggu reaksi orang yang ditungguinya. Yang ditungguinya itu adalah seorang gadis muda, jelita, namun gila. Begitulah si "pembantu" bos besar itu mengatakannya dua hari yang lalu.

"Lalu, apa hubungannya dengan saya? Kalau dia gila, bawa saja ke rumah sakit gila..."
"Sudah. Dokter mengatakan bahwa dia tidak apa-apa."

"Kok, aneh? Kok, situ bisa mengatakan bahwa dia gila?"
"Ayahnya sendiri yang mengatakan begitu. Saya cuma meneruskan ucapannya kepada Anda."

"Terus, apa saya ini dianggap dukun?"
"Saya tidak tahu, Anda dukun atau bukan. Yang penting, Sampean diminta untuk mengupayakan agar dia sembuh. Begitu kata bos."

Laki-laki itu sebetulnya tak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap gadis cantik yang katanya gila itu. Dia hanya duduk dan menatapnya.
Ditatapnya sepasang bola mata yang bening namun kosong itu. Tak ada siapa-siapa di dalam bola mata itu. Gadis itu sendiri seperti telah pergi, atau mengembara ke negeri jauh, entah apa namanya.

Ini sudah hari yang ketiga. Dan laki-laki itu sendiri sudah putus asa menghadapi sesuatu yang tak jelas ini. Dia ingin mengatakan kepada si "pembantu" bos bahwa dia menyerah. Namun, ada sesuatu yang membuatnya batal mengatakan maksudnya.

Secara iseng, laki-laki itu kemudian mengambil sebuah patung kuda perunggu, yang memang bagus. Diperkirakannya, itu buatan Italia. Detil pada surai, bahkan pada bungkah otot-ototnya membuat kuda perunggu itu tampak bernyawa.

"Haha... apa kabar tuan putriku? Apakah hari ini tuan putri siap berjalan-jalan?" ucapnya sambil memainkan kuda yang hanya segenggaman tangan itu. Kuda itu digerak-gerakkannya di depan wajah si gadis.

Si "pembantu" hanya mendesah. Di benaknya hanya ada satu ungkapan "gila ternyata menular".
"Kita akan membelah awan. Tahukah tuanku bahwa awan sesungguhnya adalah sebuah daratan di langit. Dia tergantung, dan tidak terdiri dari tanah dan batu. Seluruh pohon, bahkan air yang ada di sana, adalah kabut putih yang indah. Dan manakala matahari bersinar, pohon-pohon di negeri awan itu akan tembus, laksana kristal."

"Bawa aku."
"Ten...tu, tentu." Tiba-tiba si laki-laki tercekat mendengar ucapan itu. Dia seperti tak menyangka bahwa itu diucapkan si gadis.

Si "pembantu" bos pun agaknya juga terheran-heran. Bagaimana mungkin, setelah bertahun-tahun, gadis itu "pergi" dari tubuhnya, mendadak kembali hanya karena bualan si laki-laki. Dia segera menelepon bosnya melalui hp.

Sementara itu, laki-laki kurus itu seperti melihat ada cahaya kehidupan di bola mata bening itu. Dia berhati-hati mengutarakan keindahan yang dikhayalkannya. Dan untuk beberapa kali, dia sempat menyaksikan senyum kecil tersungging di sudut bibir gadis cantik itu.

"Kau harus membawaku ke sana."
"Baik. Apakah tuan putri ingin naik ke punggungku?"

"Apakah kau bisa terbang?"
"Bisa. Lihat?" Laki-laki itu mengangkat kuda perunggu itu tinggi-tinggi melampaui kepalanya sendiri.

Si gadis tertawa kecil, matanya mengikuti ke mana pun gerak tangan si laki-laki terarah. Dan ketika si laki-laki pura-pura menjatuhkan kuda perunggu itu, si gadis terpekik dan tertawa senang.

Gunung es itu telah cair dan laki-laki itu seakan menemukan beranda rumahnya terang benderang. Mawar yang ada di pot kecil di beranda itu seakan berkembang dan mengharum.
***
Seminggu kemudian, gadis itu mau berdandan dan mengajak laki-laki itu berjalan-jalan di halaman rumahnya yang luas. Dia dengan manjanya merangkul lengan laki-laki itu. Dan tentu saja, laki-laki itu menjadi muda kembali --meskipun usianya belumlah setua wajahnya.

"Mas pernah menikah, ya?"
"Ya...dengan seekor kupu-kupu," candanya.
Gadis itu tergelak, "Cantik, tentunya..."

"Ya. Secantik kupu-kupu. Serapuh kupu-kupu..."
"Ke mana dia sekarang?"

"Terbang. Bukankah kupu-kupu selalu ingin dikejar?"
Kembali gelak tawa si gadis terdengar. "Kok, Mas tidak mengejarnya?"

"Capek."
"Capek? Kalau begitu selama menikah Mas mengejar dia terus-menerus?"

"Ya."
"Mas tidak suka mengejar perempuan, ya?"

"Ya. Capek."
"Mas tidak mencari pacar?"

"Tidak. Capek."
"Capek terus, sih?"

"Ya. Hidupku sudah amat melelahkan. Kamu sendiri ke mana saja selama ini?"

"Jalan-jalan."
"Ke mana?"

"Ke mana saja, asal tidak di rumah."
"Mengapa?"

"Capek?," jawabnya singkat menirukan gaya bicara si laki-laki. Keduanya kemudian tertawa bahagia. Sebuah dunia yang aneh, yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.

"Kata ayahmu, kamu mau dikawinkan. Dan sejak percakapan itu, kamu ?"menghilang". Mengapa, nggak suka sama calon suamimu?"

"Tahu dari mana?"
"Tuh, dia yang mengatakan padaku?," jawab si laki-laki sambil menunjuk pada si "pembantu".

"Herder macam dia dipercaya."
"Herder? Terlalu bagus; buldog," tambah si laki-laki sambil tertawa. Si gadis pun tertawa.

Setelah itu hening. Setelah hening, "Aku capek Mas. Semuanya ditentukan dan sudah ada jalurnya. Aku nggak bisa mengatakan "tidak", ya, akhirnya aku pilih diam saja."

"Mas, mau nggak, ngajak aku ke rumahmu?"
Laki-laki itu terdiam. Dia bukan saja ingin mengajak gadis cantik itu ke rumahnya, tetapi bahkan ke atas ranjangnya. Dia ingin memeluk dan menumpahkan kegersangan jiwanya selama ini ke tubuh si gadis itu.

"Ada syaratnya...," akhirnya si laki-laki berkata.
"Apa?"

"Kau harus mau jadi istriku."
"Mengapa?"

"Ya?pokoknya harus," jawab laki-laki itu sekenanya.
"Kalau?pacar?"

"Wah..."
"Kalau pacar, gimana?"

"Ya?mmm... gimana, ya?"
"Kita pacaran dulu."

"Ah, kamu kayak kupu-kupu."
"Tidak. Kupu-kupu hanya memberi isyarat agar dikejar. Aku tidak ingin kejar-kejaran. Aku hanya ingin kenal lebih lama."

"Begini, Dinda," baru kali itu laki-laki itu mengucapkan nama si gadis, "tugasku untuk "menyembuhkan" kamu sudah selesai. Kamu, kan... sekarang sudah bisa bicara dan tertawa."

"Jadi Mas pergi? Lalu mengunciku dalam ruang kenangan?"
"Tidak. Bukan maksudku begitu."

"Kalau Mas pergi, aku akan "pergi" lagi."
"Jangan, dong..."

"Kenapa?"
Laki-laki itu diam, dalam hati dia juga bertanya, apa sebetulnya yang tengah terjadi dalam hidupnya ini.

"Mas nggak merasa bahagia bersama aku?"
"Bahagia, karena melihat kamu bisa ceria lagi. Kembali lagi seperti dulu kala."

"Sok tahu. Aku nggak mau seperti dulu. Aku mau seperti besok, seperti yang akan datang..."

"Jangan aneh-aneh."
"Aku nggak aneh-aneh. Aku cuma kepingin bisa bicara apa saja yang aku suka. Aku hanya ingin tertawa, kapan saja aku mau. Dan itu semua hanya bisa kulakukan dengan Mas. Kalau Mas nggak ada, lantas...?"

"Bapak-ibumu nggak bisu, kan?"
"Siapa, tuh?"

"Siapa, yang siapa?"
"Bapak-ibu."

"Hus. Sama orang tua, kok, begitu."
"Siapa yang orang tua?"

"Ah, anak sekarang. Dosa besar kamu mengingkari orang tua sendiri."
"Siapa yang Mas sebut orang tua?"

"Ya...orang yang mbayar aku, yang kasih honor aku puluhan juta rupiah ini. Siapa lagi?"
"Ooo?orang tua itu?"

"Hei?jangan ngawur, lho."
"Tidak, aku tidak ngawur. Orang tua itu, kan?"

Laki-laki itu menatap Dinda dengan pandangan menyelidik. Sepasang mata Dinda seperti sengaja menyambut tatapannya. Seakan mempersilakannya masuk dan membongkar setiap relung dan liku yang ada di dalamnya.
***
Laki-laki itu, yang biasanya hanya diam menatapi awan-awan berserakan di langit, yang merasa hidupnya kosong melompong, tiba-tiba kalang kabut. Betapa tidak, Dinda yang selama ini diketahuinya adalah anak seorang kaya, yang sakit jiwa dan karenanya si bapak mencarikannya dukun, dan secara kebetulan memilih laki-laki itu, ternyata hanyalah bapak angkat Dinda. Dan si bapak angkat ternyata menginginkan Dinda seutuhnya. Dia menyayangi Dinda dan memaksakan diri masuk ke dalam ruang-ruang kesucian anak angkatnya itu. Tak mengherankan jika Dinda membeku.

Laki-laki itu mendidih mendengar semuanya, dan karenanya, entah dengan pertimbangan apa, dia segera mengajak Dinda terbang mengendarai kuda terbang.

Dia mendadak merasa menjadi Pronocitro yang mengajak terbang Roro Mendut dari kungkungan Adipati Wiroguno.
Tetapi, laki-laki itu tiba-tiba merasa capek. Dia tak ingin mengejar dan dikejar. Dia hanya ingin duduk tenang di beranda rumahnya yang sepi dan berdebu. Dia hanya ingin setiap kali menyirami mawarnya, ada kesegaran yang menyiram jiwanya.

Seperti senja itu. Laki-laki itu kembali duduk di beranda rumahnya, dan merokok. Dia dengan segera melipat halaman-halaman indah buku kehidupannya --walau hanya beberapa lembar-- bersama Dinda.

Di keheningan senja, di beranda rumahnya, dia hanya bisa membayangkan Dinda berada di sampingnya, meskipun saat itu, mungkin berada dalam pelukan orang lain. Laki-laki itu benar-benar merasa lelah, bahkan sekadar untuk mengakui bahwa dirinya seorang laki-laki.