Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi
Ibu bersumpah
untuk membangun keluarganya di atas meja makan. Ia terobsesi mewujudkan
keluarga yang bahagia melalui media makan bersama. Maka, ia menghabiskan
hidupnya di dapur, memasak beribu-ribu bahkan berjuta-juta menu makanan
hanya untuk menghidangkan menu masakan yang berbeda-beda setiap
harinya. Ia memiliki jutaan daftar menu makan malam di lemari dapurnya.
Daftar itu tersusun rapi di dalam sebuah buku folio usang setebal dua
kali lipat kamus besar Bahasa Indonesia, berurut dari menu masakan
berawal dengan huruf A hingga Z. Ia menyusun sendiri kamus itu sejak
usia perkawinannya satu hari hingga kini menginjak usia 25 tahun. Di
sebelah kamus resep masakan itu, bertumpuk-tumpuk pula resep masakan
dari daerah Jawa, Madura, Padang, bahkan masakan China. Belum lagi
kliping resep masakan dari tabloid-tabloid wanita yang setebal kamus
Oxford Advanced Learner.
Isi kepala Ibu memang berbeda dengan ibu
lain. Dalam kepalanya seolah hanya ada tiga kata, menu makan malam.
Setiap detik, setiap helaan napasnya, pikirannya adalah menu-menu
masakan untuk makan malam saja. Makan malam itulah ritual resmi yang
secara tersirat dibikinnya dan dibuatnya tetap lestari hingga saat ini.
Meskipun, ketiga anaknya telah beranjak dewasa, ia tak pernah surut
mempersiapkan makan malam sedemikian rupa sama seperti ketika ia
melakukannya pertama, sejak usia pernikahannya masih satu hari.
Keluarga
ini tumbuh bersama di meja makan. Mereka telah akrab dengan kebiasaan
bercerita di meja makan sambil menikmati menu-menu masakan Ibu. Mereka
berbicara tentang apa saja di meja makan. Mereka duduk bersama dan
saling mendengarkan cerita masing-masing. Tak peduli apakah
peristiwa-peristiwa itu nyambung atau tidak, penting bagi yang lain atau
tidak, pokoknya bercerita. Yang lain boleh menanggapi, memberi komentar
atau menyuruh diam kalau tak menarik. Muka-muka kusut, tertekan, banyak
masalah, stres, depresi, marah, kecewa, terpukul, putus asa, cemas, dan
sebagainya, bisa ditangkap dari suasana di atas meja makan. Sebaliknya
muka-muka ceria, riang, berseri, berbunga-bunga, jatuh cinta, juga bisa
diprediksi dari ritual makan bersama ini. Ibu yang paling tahu semuanya.
Ia
memang punya kepentingan terhadap keajegan tradisi makan bersama ini.
Satu kepentingan saja dalam hidupnya, memastikan semua anggota
keluarganya dalam keadaan yang ia harapkan. Bagi Ibu, sehari saja ritual
ini dilewatkan, ia akan kehilangan momen untuk mengetahui masalah
keluarganya. Tak ada yang bisa disembunyikan dari momen kebersamaan ini.
Dan kehilangan momen itu ia rasakan seperti kegagalan hidup yang
menakutkan. Ia tak mau itu terjadi dan ia berusaha keras untuk membuat
itu tak terjadi.
Ia tak berani membayangkan kehilangan momen itu.
Sungguh pun tahu, ia pasti menghadapinya suatu saat nanti, ia merasa
takkan pernah benar-benar siap untuk itu. Yang agak melegakan, semua
anggota keluarganya telah terbiasa dengan tradisi itu dan mereka seolah
menyadari bahwa Ibu mereka memerlukan sebuah suasana untuk menjadikannya
"ada". Semua orang tahu dan memakluminya. Maka semua orang berusaha
membuatnya merasa "ada" dengan mengikuti ritual itu. Namun, kadang
beberapa dari mereka menganggap tradisi ini membosankan.
***
Jam
empat pagi. Ibu telah memasak di dapur. Ia menyiapkan sarapan dengan
sangat serius. Ibu tak pernah menganggap memasak adalah kegiatan remeh.
Ia tak pernah percaya bahwa seorang istri yang tak pernah memasak untuk
keluarganya adalah seorang Ibu yang baik. Jika ada yang meremehkan
pekerjaan memasak, Ibu akan menangkisnya dengan satu argumen: masakan
yang diberkahi Tuhan adalah masakan yang lahir dari tangan seorang Ibu
yang menghadirkan cinta dan kasih sayangnya pada setiap zat rasa masakan
yang dibikinnya. Ibu meyakini bahwa makanan adalah bahasa cinta seorang
Ibu kepada keluarganya, seperti jembatan yang menghubungkan batin
antarmanusia. Sampai di sini, anak-anaknya akan berhenti mendengar
penjelasan yang sudah mereka hapal di luar kepala. Ibu takkan berhenti
bicara kalau kedamaiannya diusik. Dan yang bisa menghentikannya hanya
dirinya sendiri.
Sarapan tiba. Ibu menyiapkan sarapan di dapur.
Ia menyiapkan menu sesuai dengan yang tertera di daftar menu di lemari
makanan. Telur dadar, sayur hijau dan sambal kecap. Ada lima orang di
keluarganya. Semua orang memiliki selera berbeda-beda. Suaminya suka
telur yang tak matang benar, agak asin, tanpa cabe. Aries suka telur
yang benar-benar tergoreng kering, dan harus pedas. Pisca, suka makanan
serba manis. Telur dadarnya harus setengah matang dengan kecap manis dan
sedikit vitsin. Sedangkan Canestra, tak suka pada kuning telur. Sebelum
didadar, kuning telur harus dipisahkan dulu dari putihnya. Jika tidak
dibuatkan yang sesuai dengan pesanannya, ia bisa mogok makan.
Berhari-hari.
Bagaimana dengan Ibu? Ibu bahkan tak pernah
macam-macam. Telur dadarnya adalah yang standar, tidak ada perlakuan
khusus. Ia boleh makan apa saja, yang penting makan, jadilah.
Pukul
07.05. Telur dadar setengah matang asin, telur dadar pedas, telur manis
dengan vitsin, dan telur tanpa kuning, berikut sayur hijau dan sambal
kecap telah terhidang. Semua telah menghadapi hidangan masing-masing
sesuai pesanan. Makan pagi biasanya tak ada yang terlalu banyak bicara.
Semua sibuk dengan rencana masing-masing di kepalanya. Kelihatannya, tak
ada yang ingin berbagi. Aries kini sudah bekerja di sebuah kantor
pemerintah, menjadi tenaga honor daerah. Ia harus tiba di kantor
setidaknya pada tujuh dua lima, karena ada apel setiap tujuh tigapuluh.
Pisca harus ke kampus. Ia duduk di semester tujuh kini. Tampaknya sedang
tak bisa diganggu oleh siapa pun. Wajahnya menunjukkan demikian.
Mungkin akan bertemu dengan dosen pembimbing atau entah apa, tapi
mukanya keruh. Mungkin banyak persoalan, tapi Ibu cuma bisa memandang
saja. Sedang Canestra masih di SMA. Ia tampak paling santai. Tangannya
memegang komik. Komik Jepang. Makan sambil membaca adalah kebiasaannya.
Sang Bapak, duduk diam sambil mengunyah makanan tanpa bersuara dan tanpa
menoleh pada yang lain. Pria yang berhenti bekerja beberapa tahun lalu
itu tampak lambat menyelesaikan makannya. Ia menikmati masakan itu, atau
tidak peduli? Tak ada yang tahu.
Satu per satu mereka
meninggalkan ruang makan. Hanya piring-piring kotor yang tersisa di meja
makan. Ibu membawanya ke dapur, mencuci piring-piring itu sampai bersih
dan mengelap meja makan. Ritual berikutnya adalah menyerahkan anggaran
belanja ke pasar hari itu kepada suaminya. Saat-saat inilah yang paling
ia benci seumur hidupnya. Ia benci menerima uang dari suaminya yang
selalu tampak tak rela dan tak percaya.
Akhirnya, memang
bahan-bahan menu itu dipangkas seenak udelnya, ia tak mau tahu apa pun.
Ujung-ujungnya ia cuma memberi sepuluh ribu saja untuk semua itu. Tentu
saja kurang dari anggaran yang seharusnya, dua puluh ribu. Untuk itu
semua, maka otomatis menu berubah; tak ada ayam bumbu rujak, tak ada
capcay, yang ada tinggal perkedel jagung dan tempe. Sayur hijau,
katanya, bolehlah. Yang penting sayur, dan murah. Ah…
Ibu
berjalan ke pasar dengan gontai. Hari itu Jumat. Hari pendek. Anak-anak
akan pulang lebih cepat dari biasa. Ia mempercepat langkahnya. Tak mudah
membagi waktu, kadang pekerjaan teramat banyaknya sampai-sampai tak ada
waktu untuk melakukan hal lain selain urusan dapur. Kadang ia berpikir
ada sesuatu yang memang penting untuk dilakukan tapi itu akan
mengabaikan urusan dapur dan itu berarti pula mengabaikan selera
anak-anaknya. Itu tidak mungkin. Tak ada yang mengerti selera
anak-anaknya kecuali dia.
Tapi kadang ia bosan berurusan dengan
menu-menu. Ia telah mencoba semua menu yang ada di buku-buku masakan, ia
telah mencoba semua resep masakan di teve, dan ia kehabisan ide suatu
ketika. Ia mencatat menu-menu yang sudah pernah dibikinnya. Serba-serbi
sambal: sambal goreng krecek, sambal goreng hati, sambal godog, sambal
kentang, sambal bawang, sambal kecicang, sambal serai, dll. Aneka ca,
semacam: ca sawi, ca kangkung, ca bayam, ca tauge, ca bunga kol, dll.
Semua jenis perkedel dan gorengan kering: perkedel ketimun, perkedel
kentang, perkedel jagung, pastel kentang, kroket kentang, dan
seterusnya. Sampai makanan golongan menengah dilihat dari mahalnya bahan
pokok semacam: babi kecap, gulai kare ayam, gulai udang, sate bumbu
rujak, opor ayam, sup kaki ayam dengan jamur tiongkok, dendeng sapi,
kepiting goreng. Juga serba-serbi makanan China semacam: shiobak,
koloke, fuyung hai, ang sio hie, hao mie, tao mie, dan seterusnya.
Daftar ini masih akan bertambah panjang kalau disebutkan serba-serbi
pepes, serba-serbi urap, atau serba-serbi ikan.
Semua menu sudah
dicobanya habis tak bersisa, tapi sepertinya masih saja ada sesuatu yang
kurang. Ia pun lebih kerap berkreasi, satu menu masakan kadang-kadang
dipadu dengan menu masakan lain, misalnya pepes tempe, gulai pakis, sate
tahu, dan sebagainya. Tapi masih saja menu-menu itu terasa tak cukup
untuk membuat variasi menu yang berbeda setiap harinya. Karena itulah
yang akan membuat keluarganya betah dan merindukan makan malam.
Ia
pernah merasa ingin berhenti saja memikirkan menu-menu itu, tapi
suaminya akan berkata, "Kau telah memilih menjadi perempuan biasa-biasa
saja, tidak bekerja dan melayani keluarga. Bahkan kau bersumpah akan
membangun keluarga di atas meja makan, kenapa tidak kau pikirkan
sebelumnya?"
Ibu merenungkan kata-kata suaminya. Ada yang salah
terhadap penilaian-penilaian. Ada yang tak adil di dalamnya. Hampir
selalu, yang menjadi korban adalah mereka yang dinilai, mereka yang
tertuduh, mereka yang melakukan sesuatu tapi dinilai salah dan dianggap
biasa-biasa saja. Tapi apa sesungguhnya yang terjadi dengan biasa dan
tak biasa? Apa yang menentukan yang biasa dan yang tak biasa? Menjadi
Ibu adalah sangat luar luar luar biasa. Apakah seorang ibu rumah tangga
yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk keluarga lebih biasa daripada
seorang ibu yang tak pernah sekalipun berpikir tentang keluarganya,
meski ia punya tujuh perusahaan dan kaya raya? Lagipula, itu cuma
perasaan, bukan angka-angka dalam matematika, namanya juga perasaan.
Tercium bau hangus. Ibu tersentak dari lamunannya. Tempenya gosong.
Ia
menyudahi goreng-menggoreng tempe itu. Lalu dengan bergegas ia
menyambar sekeranjang cucian kotor, mulai mencuci. Anaknya datang satu
per satu. Ibu belum selesai mencuci. Ia agak tergesa karena harus
menyiapkan makan siang untuk anak-anaknya. Setelah menyiapkan makan
siang, ia kembali bekerja, menyelesaikan cucian.
Makan siang Ibu
adalah jam 3 sore. Setelah itu, ia tidur dua jam. Sehabis jam 5 sore,
sehabis tidur siangnya, ia harus menyiapkan makan malam. Sehabis makan
malam, jangan kira ia selesai. Ada Bapak yang setiap hari minta dipijit,
tapi setiap hari mengeluh pijitan Ibu tak pernah mengalami kemajuan.
Ah…
Dia melakukannya selama sisa hidupnya. Ia berkutat dengan
semua itu selama puluhan tahun, tak pernah ada yang memujinya, dan ia
pun tak ingin dipuji, tapi itukah yang disebut perempuan biasa?
Suatu ketika, sebuah peristiwa datang mengusik keluarga itu.
Hari
itu Selasa, ketika sebuah perubahan memperkenalkan dirinya kepada
keluarga itu. Aries menolak makan bersama. Ia tentu punya alasan di
balik aksi mogoknya. Tapi tak ada yang tahu apa alasan Aries.
Ibu
kecewa. Menu makan malamnya tak dicicipi selama tiga hari
berturut-turut. Ini adalah beban mental bagi seorang Ibu. Ia bukanlah
orang yang suka memaksa, tapi selalu membaca dari tanda-tanda dan suka
juga menebak-nebak. Sialnya, Aries tak pernah memiliki cukup waktu untuk
menjelaskan semua itu. Ia tampak begitu sibuk. Kadang ia bahkan
terlihat menyibukkan diri, menghindar dari Ibu. Ia menomorduakan ritual
makan malam mereka. Ibu menangis, ia merasa segala usahanya untuk
membangun tradisi makan malam ini sia-sia saja. Salahkah jika ia
berusaha membikin sesuatu yang kelak retak menjadi abadi? Mungkin memang
salah, tapi dulu tak seorang pun cukup berani menunjukkan di mana letak
salahnya, tak seorang pun tega mengecewakan Ibu. Tapi Aries, kini telah
membuatnya kecewa secara nyata.
Suasana menjadi semakin keruh ketika di hari kelima, keenam dan ketujuh, Aries juga absen makan malam.
Ibu
bertindak. Ia masuk ke kamar si sulung, lalu, mungkin, bicara di sana.
Pisca dan Canestra duduk di depan tivi, tidak mendengar apa-apa.
Satu jam kemudian, Ibu keluar dengan wajah murung, tapi dibikin agar kelihatan berseri. Ia tampak aneh.
"Aku
tahu selama ini kita tak pernah jujur dengan makan malam itu.
Satu-satunya yang jujur hanya dia. Kita semua sudah bosan, ya kan? Ibu
juga. Dan mulai saat ini, tidak ada lagi kebohongan apa pun. Tinggalkan
saja jika kalian memang tak setuju. Ibu juga sudah lelah memikirkan
menu-menu makan malam untuk kalian. Ibu ingin merasa tidak perlu
menyiapkannya untuk kalian. Ibu akan mencoba. Selamat bersenang-senang!"
Ibu
terlihat enteng menyelesaikan persoalannya. Bapak menyusul Ibu ke
kamar. Mudah-mudahan mereka bercinta. Ah ya mereka sepertinya tak pernah
bercinta lagi sejak beberapa tahun ini. Padahal itu perlu, terutama
bagi Ibu yang lelah luar biasa. Fisik dan jiwa.
Pisca menyelinap
masuk ke kamar Aries, meninggalkan Canestra yang masih asyik nonton
tivi. Ia sungguh ingin tahu, apa yang dibicarakan Ibu dan Aries,
sehingga Ibu keluar dengan wajah aneh, murung tapi dipaksakan berseri.
Pisca bertanya, "Ada apa?" Aries tak menjawab, namun tiba-tiba menangis
dan menenggelamkan wajahnya di bawah bantal. Dengan sesenggukan, ia
berkata, "Untuk apa lagi mempertahankan sebuah kepalsuan di depan Ibu?
Salah satu dari kita semua telah mengkhianati Ibu, untuk apa lagi semua
ini dipertahankan?"
Pisca menangkap ucapan kakaknya dengan jelas,
namun ia tak mengerti, dan tak ingin mengerti, karena semua itu terlalu
menyedihkan baginya. Apalagi yang lebih menyedihkan ketika tahu
seseorang telah berkhianat kepada Ibu? Siapa pun dia, Pisca tak ingin
tahu. Ia tak ingin mendendam, apalagi terhadap keluarganya sendiri.
Tapi, bukankah Ibu selalu tahu apa yang terjadi? Semua pertanyaan
bertumpuk-tumpuk di kepalanya.
Sesuatu yang kelak retak, yang Ibu
pernah berusaha membikinnya abadi, kini sudah benar-benar retak
berkeping-keping dan tak mungkin disatukan lagi. Sejak saat itu, makan
malam bersama tidak rutin lagi bagi mereka. Hanya Ibu yang masih betah
di sana. Sesekali Pisca atau Canestra mendampinginya. Mungkin tiba saat
ketika ia benar-benar rindu makan malam bersama.
Sialnya, Bapak
benar-benar tak memahami persoalan dengan baik. Ia sok bijak dan pandai.
Kata-katanya sungguh tak tepat untuk menggambarkan seluruh keadaan ini.
"Benar kan, Ibumu memang perempuan biasa-biasa saja. Ia bahkan menganggap hal remeh ini sebagai kiamat dalam hidupnya!"
Pisca meradang. Ia merasa Bapak yang sombong itu harus dihentikan.
"Apa
yang biasa? Apa yang tak biasa? Bapak juga laki-laki biasa, yang tak
bisa seperti Ibu. Bapak jauh lebih biasa dari Ibu. Ibu, setidaknya
berusaha membikin tradisi agar kita tahu arti kebersamaan sekalipun di
atas meja makan. Tapi lihatlah Bapak yang hanya suka mengejek tapi tak
pernah melakukan apa pun, bahkan tak pernah berusaha melakukan apa pun!"
Bapak
diam. Dia kelihatan tersinggung. Tapi Pisca suka dan puas membuatnya
tersinggung. Pisca memutuskan untuk menemui Ibu. Ibu menyambutnya dengan
senyum. Ia tahu Pisca akan berbicara soal Bapak, soal biasa dan tak
biasa. Ibu mencegahnya bicara lebih dulu, "Begini. Bapak benar soal Ibu
yang biasa-biasa saja. Ini sudah seharusnya. Ibu menerima semua itu,
bukan karena Ibu pasrah tapi Ibu mengerti betul kalian semua dan juga
persoalan ini. Ibu memang perempuan biasa, tak ingin menjadi yang tak
biasa. Ibu mencintai Bapak, kalian semua. Ibu tak bisa memberi uang,
maka Ibu cuma memberi kemampuan Ibu memasak, itu pun jika kalian mau
menikmatinya."
"Tapi Bu, ini penghinaan. Masalah makan malam itu
bukan masalah sekadar, bukan masalah remeh temeh. Sebesar itu usaha Ibu
membangun tradisi kebersamaan di keluarga kita, tapi Bapak bahkan
menganggapnya tak ada. Kita belajar satu sama lain di meja makan itu,
kita memutuskan hidup kita di atas meja makan itu, dan ingat, ketika
Bapak berhenti bekerja di kantor karena penyelewengan dana yang sangat
memalukan itu, yang menolong Bapak adalah kita, juga di atas meja makan
itu."
"Bapak kini sedang merasa kesepian, ia kehilangan saat-saat
terbaiknya, itu hal tersulit yang pernah ditemuinya. Kita harus
memahami itu."
Dari beranda, Bapak mendengar semua percakapan
itu. Ia berpikir bahwa istrinya memang baik, pengertian dan sabar, tapi
sungguh ia sangat biasa, dan yang terpenting, tak menggairahkan.