SAMAR dan kabur pandangan Nastiti, saat kedua kakinya menginjak lantai
ruang tamu. Lututnya kian gemetar menjaga keseimbangan tubuh yang mulai
goyah. Mencoba berdiri lebih tegak, Nastiti benar-benar tak kuat,
buru-buru merapat dinding, merambat persis seekor cicak. Nastiti
menghampiri kamar depan yang paling dekat, membuka pintu dengan sisa
tenaga yang ada, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk.
Perlahan-lahan kelopak matanya mengatup.
Di kamar belakang, masih
setengah telanjang, Sawitri dan Wiguno pucat. Sekian menit mereka
menahan napas, tak tahu harus berbuat apa. Wiguno tak menduga sama
sekali jika Nastiti, istrinya, pulang lebih cepat dari biasanya. Tapi
tiba-tiba Wiguno heran, tak mendengar lagi suara Nastiti. Wiguno jadi
penasaran tak yakin jika istrinya sudah pulang. Anak-anak muda Karang
Taruna suka nyelonong masuk rumah memberi undangan. Wiguno hendak keluar
memastikan siapa yang datang, tapi tiba-tiba Sawitri menahan lengannya.
Kuat.
"Sstt! Jangan cari perkara!" Suara Sawitri pelan, tapi tajam.
Wiguno
urung melangkah, menatap Sawitri yang sibuk mengenakan kutang. Ada
kecewa di mata Wiguno. Ada hasrat yang belum lunas. "Kita belum
selesai…" Wiguno menelan ludah.
"Edan, kamu!"
"Tenang. Paling
cuma anak-anak ngasih undangan. Mereka sudah pergi…" Meski belum terlalu
yakin dengan dugaannya, Wiguno berusaha meyakinkan Sawitri. Tatap
matanya berubah serius. Sawitri menarik napas dalam-dalam tak begitu
yakin dengan ucapan Wiguno. Sawitri masih merasakan jantungnya berdebar
kencang. Tapi setelah berpikir beberapa saat, dengan isyarat mata
akhirnya Sawitri menyuruh Wiguno keluar. Entah, giliran Wiguno yang
tiba-tiba ragu.
Lama Wiguno berdiri di depan pintu kamarnya,
merapikan rambut dan mencoba bersikap wajar, sebelum kakinya
bersijingkat menghampiri kamar depan. Pelan dan hati-hati langkah Wiguno
takut menimbulkan bunyi. Takut Nastiti benar-benar sudah pulang. Tapi
rumah itu sangat sepi hingga Wiguno bisa mendengar aliran napasnya
sendiri. Wiguno terus melangkah. Kali ini lebih pelan.
Pintu
kamar depan tidak ditutup rapat. Wiguno melongok dan jantungnya hampir
lepas. Di atas ranjang istrinya tidur lelap. Wajahnya letih, sayu. Tas
kerjanya jatuh di lantai hingga benda-benda di dalamnya berserak. Wiguno
segera tahu, istrinya sedang tak enak badan sehingga pulang lebih
cepat. Wiguno juga hapal, istrinya belum lama tidur dan bangunnya pasti
lama. Wiguno segera beringsut ke kamar belakang. Ia tak punya waktu
banyak. Ada hasrat yang belum tuntas.
Sawitri kaget tiba-tiba
Wiguno menyergap dari belakang. Dengus napasnya liar. Matanya menyala.
Sawitri heran, tak biasanya Wiguno bersikap kasar dan buru-buru. Tapi
Sawitri tak bisa berkelit. Tak boleh menjerit. Berkali-kali Wiguno
memberi isyarat agar jangan bersuara terlalu keras. Wiguno membopong
tubuh Sawitri, dihempas ke atas ranjang. Melucuti pakaiannya seperti
kesetanan. Augh!
***
NASTITI bangun mendengar suara sepeda motor
masuk halaman. Bangkit dari ranjang, Nastiti merasakan badannya jauh
lebih enak. Ia segera mengintip gordyn jendela melihat siapa yang
datang. Tampak di halaman, Palastra, teman sesama guru di SMP sedang
memarkir sepeda motor. Nastiti cepat-cepat menyisir rambutnya yang
kusut. Lalu, setengah berlari menghampiri pintu depan, persis bersamaan
Palastra mengetuk pintu.
"O, Pak Palastra. Mari, mari, masuk." Nastiti tersenyum ramah, membuka pintu mempersilahkan Palastra masuk.
Palastra
yang berdiri di depan pintu sedikit grogi melihat senyum ramah Nastiti.
Ia tak menduga Nastiti sendiri yang akan membuka pintu, menyambutnya.
Tapi memang, diam-diam sudah lama ia memendam kagum pada Nastiti.
Mungkin sejak pertama kali bertemu, saat Nastiti mulai mengajar sebagai
guru honorer. Selalu ada perasaan aneh menyusup dalam jantungnya.
Apalagi ketika teman-teman sesama guru suka meledek bahwa Nastiti sangat
mirip dengan mendiang istrinya yang sudah meninggal empat tahun lalu.
"Ehm….Tidak
usah. Di sini saja. Saya hanya mengantar hasil ulangan anak-anak…"
Palastra benar-benar belum bisa menguasai groginya, menyerahkan setumpuk
kertas hasil ulangan pada Nastiti. Tangannya gemetar, berkeringat.
"Aduh, saya jadi merepotkan," ucap Nastiti merasa bersalah.
"Tidak
apa-apa. Tadi sebenarnya mau saya bawa pulang ke rumah. Saya takut Bu
Nastiti belum sembuh. Tapi saya lihat Bu Nastiti sudah baikan.
Mudah-mudahan besok sudah bisa mengajar." Berkata demikian, Palastra
merogoh saku celana, agak buru-buru, mengeluarkan kunci sepeda motor.
"Sekarang saya permisi dulu. Sudah sore…."
Nastiti hanya
mengangguk-angguk, tak sempat menjawab. Laki-laki itu keburu memutar
badannya berjalan menghampiri sepeda motor. Nastiti terus menatap
Palastra hingga sepeda motor yang dikendarainya bergerak meninggalkan
halaman rumah. Nastiti bukannya tidak tahu, tadi Palastra grogi
berhadapan dengan dirinya. Ah, bukan hanya tadi saja, tapi selalu dalam
setiap pertemuan.
Nastiti sering merasa kasihan pada Palastra
yang ramah dan baik hati. Berkali-kali Palastra membantu dirinya.
Apalagi setelah mendengar cerita dari para guru tentang masa lalu
Palastra. Nastiti jadi semakin bingung, tak tahu bagaimana harus
bersikap di depan guru matematika kelas tiga yang masih cukup muda dan
tampan itu. Nastiti sadar, sangat sadar, sesekali dirinya juga grogi dan
salah tingkah setiap kali Palastra menatapnya dari kejauhan. Tatapan
Palastra begitu dalam.
***
SAWITRI buru-buru membalikkan badannya
menghadap tembok, pura-pura tidur, ketika mendengar langkah kaki Muntar,
suaminya, berjalan menuju kamar. Sejak nonton tv sore tadi, Sawitri
sudah bisa membaca gelagat laki-laki itu. Selalu ada maunya setiap kali
beli makanan banyak. Apalagi malam Minggu. Muntar bisa begadang sampai
pagi, melakukannya berkali-kali.
Sampai di kamar, Muntar kecewa
melihat Sawitri sudah tidur. Muntar ikut rebah di sebelah Sawitri, tapi
matanya hanya merem melek tak kunjung bisa tidur. Berkali-kali Muntar
hendak membangunkan Sawitri, tapi selalu ragu. Dalam hati Muntar heran,
tak biasanya Sawitri tidur sore. Apalagi malam Minggu. Muntar terus
menatap Sawitri yang tidur di sebelahnya hingga lama-lama timbul
keberanian untuk membangunkan Sawitri.
Tapi tidur Sawitri tampak
sangat lelap. Sekujur tubuhnya ditutup selimut. Berkali-kali Muntar
berusaha membangunkan, tapi selalu gagal. Perempuan itu tak bergerak
sedikit pun, kaku seperti kayu. Muntar menelan ludah, kecewa berat.
Sudah lama ia tak berhubungan badan.
***
DUDUK di bangku pojok
kantor guru, Nastiti terlihat tekun memeriksa hasil ulangan matematika
murid kelas dua. Nastiti malas membawa pulang kertas-kertas hasil
ulangan, khawatir justru tak bisa selesai. Para guru dan murid sudah
lama pulang, membuat sekolah itu tampak sepi. Mungkin hanya tinggal
penjaga sekolah dan penjaga kantin di belakang.
O, ternyata
tidak! Palastra tergopoh-gopoh masuk kantor hendak mengambil beberapa
buku yang tertinggal. Palastra kaget mendapati Nastiti masih di kantor.
Nastiti pun tak kalah terkejutnya, saat matanya beradu dengan mata
Palastra. "Bbelum pulang?" tanya Palastra gugup, masih belum hilang
terkejutnya.
"Belum. Aku malas mengerjakan di rumah."
"Mau kuantar sekalian?" Palastra memberanikan diri mendekat.
Entah,
Nastiti mendadak gugup. Mungkin sejak tadi, saat beradu pandang. Tatap
mata Palastra begitu dalam. Seperti menyimpan magnet, menggetarkan.
Nastiti semakin salah tingkah melihat Palastra mendekati dirinya.
Pikirannya sudah tak konsentrasi lagi dengan kertas-kertas hasil ulangan
yang bertumpuk di atas meja. Kini Palastra sudah berdiri di depannya.
Anggun. Berwibawa.
"Mau kubantu?"
Nastiti menggeleng. "Terima kasih. Sedikit lagi selesai…"
Tapi
Palastra sudah duduk di kursi samping Nastiti. Nastiti merasakan
jantungnya berdebar lebih kencang. Debar yang sama dirasakan oleh
Palastra. Apalagi saat angin dari jendela meniup rambut Nastiti.
Beberapa helai rambutnya melayang menerpa wajah Palastra. Harum dan
lembut. Palastra tiba-tiba tak bisa menguasai diri. Ada sesuatu yang
tiba-tiba menguap dari ingatannya. Ingatan seorang laki-laki yang empat
tahun bertahan hidup seorang diri. Dan, Nastiti adalah perempuan cantik
yang selalu mengingatkannya pada mendiang istrinya.
Palastra
benar-benar tak bisa menahan diri. Diraihnya tangan Nastiti yang lembut.
Sudah lama ia tak merasakan kelembutan tangan seorang perempuan.
Seperti tak sadar, Nastiti hanya diam. Tubuhnya bergetar gemetar.
Palastra kemudian meraih wajah Nastiti, dihadapkan ke wajahnya. Ada
rongga sunyi di mata Palastra. Ada lorong kelam di sana. Nastiti bisa
melihat kesunyian dan kekelaman itu kini mulai menjalar tubuhnya,
membuat dirinya hanyut, terlena, menikmati cumbu Palastra.
Tapi
sejurus kemudian tiba-tiba Nastiti berontak melepaskan diri. Sesaat
Palastra tersentak, kaget. Tapi Palastra segera sadar, telah membuat
kekeliruan. Palastra merasa malu. Wajahnya berubah pucat penuh rasa
bersalah dan penyesalan. Nastiti merasa lebih malu lagi, segera
menyambar tas di atas meja lalu lari keluar.
"Nastiti, demi Tuhan, aku khilaf. Maafkan aku! Maafkan aku!" Palastra berteriak, tapi Nastiti terus lari. Pulang.
***
SAMAR
dan kabur pandangan Nastiti saat kedua kakinya menginjak lantai ruang
tamu. Lututnya kian gemetar menjaga keseimbangan tubuh yang mulai goyah.
Nastiti merasakan kepalanya pening, berdenyut-denyut. Peristiwa di
sekolah barusan membuat dirinya sangat terpukul. Ia merasa malu pada
dirinya sendiri. Dengan sisa tenaga yang ada, Nastiti menghampiri kamar
depan, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk. Perlahan-lahan
kelopak matanya mengatup.
Di kamar belakang, masih setengah
telanjang, Sawitri dan Wiguno pucat. Sekian menit mereka menahan napas,
tak tahu harus berbuat apa. Wiguno menyesal lupa tak mengunci pintu
depan. Tapi tiba-tiba Wiguno heran, tak mendengar lagi suara orang yang
baru masuk rumahnya. Wiguno jadi penasaran, tak yakin jika istrinya
sudah pulang. Wiguno hendak keluar memastikan siapa yang datang, tapi
tiba-tiba Sawitri menahan lengannya. Kuat.
"Sstt! Jangan cari perkara!" Suara Sawitri pelan, tapi tajam.
"Kita belum selesai…." Wiguno menelan ludah.
"Edan, kamu! Mau berapa kali lagi?!"
"Sehari tiga kali, seperti minum obat…" Wiguno melucu.
Sawitri tersenyum. "Ya, sudah, sana lihat!"
Wiguno
segera bersijingkat menghampiri kamar depan. Untung pintunya tak
ditutup rapat. Ia cukup melongokkan kepalanya dan segera tahu di atas
ranjang istrinya tidur lelap. Wiguno menduga istrinya sedang tak enak
badan. Wiguno segera beringsut ke kamar belakang. Ia tak punya waktu
banyak. Ini untuk permainan terakhir kalinya. Siang ini. Yang ke empat!