Aku kadang tidak mengerti mengapa ayah memilih ibu menjadi istrinya. Kupikir, ayah pasti memiliki penggemar dimana-mana. Walau aku juga sempat berpikir harus berterima kasih kepada ibu yang sudah melahirkanku ke dunia, dan aku bisa menikmati berbagai fasilitas yang diberikan ayah kepadaku sebagai anak semata wayang. Aku pernah berpikir untuk mengusulkan ayah membawa ibu ke dokter kecantikan. Bila perlu, ibu dipermak habis menjadi cantik. Tentu saja agar kami bisa bangga bila berjalan bersamanya.
Yeah, aku tidak bangga kepada ibuku! Apalagi, ibu bukan wanita yang aktif dan supel seperti ibu teman-temanku. Pernah suatu kali, dengan jahatnya, aku bertanya kepada ayah, "Kenapa Ayah memilih Ibu?" "Ibu perempuan yang sangat baik. Itu sebabnya Ayah sangat mencintai Ibu," jawab ayahku.
Namun, aku tetap tidak bangga kepada ibu meski ayah mengatakan itu. Ibu memang perempuan yang sangat baik. Aku justru bangga kepada ayah yang memiliki usaha yang sukses dan selalu membelikan apa saja yang aku minta.
Menurutku, ibu tidak pernah meminta apa-apa kepada ayah. Padahal kalau ibu mau, ibu bisa berbelanja seperti ibu teman-temanku, memakai pakaian yang bagus, dan ke salon untuk mempercantik diri. Anehnya, ibu sama sekali tidak melakukannya. Aku pernah bertanya kepada ibu mengapa dia tidak pernah meminta sesuatu kepada ayah. Ibu hanya menjawab, "Bagi Ibu, melihat ayah dan kamu bahagia sudah sangat cukup." Ah, kadang aku tidak mengerti apa yang ada dipikiran ibu.
Aku memang tidak bangga kepada ibu sampai suatu ketika aku mendengar ayah telah menikahi seorang perempuan cantik yang merupakan rekan bisnisnya. Awalnya, aku kesal mendengar itu. "Ini semua karena Ibu tidak pernah memerhatikan diri sehingga ayah kepincut perempuan lain!" teriakku kepada ibu.
Aku melihat mata ibu berkaca-kaca, tapi ibu tidak menangis juga. Ibu memperlihatkan ketabahan yang luar biasa. Justru aku yang terus menangis. Aku takut ayah akan dibawa pergi perempuan itu dan meninggalkan kami. Aku takut menjadi anak terlantar seperti yang kudengar dari cerita teman-temanku yang ayahnya menikah lagi. Saat itu, aku kesal sekali kepada ibu.
Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan ayah. Rupanya, ayah tidak pulang kerumah. Tapi, aku melihat ibu sama sekali tidak gusar. Ibu menghampiriku di tempat tidur dan mebelai rambutku.
"Ibu tahu kamu sangat mencintai ayahmu, bahkan melebihi kamu mencintai Ibu. Ibu tahu kamu begitu bangga kepada ayahmu sehingga kebangganmu kepada Ibu sudah habis. Tapi, sejak kamu kecil, Ibu sangat mencintaimu. Ibu sangat mencintai ayahmu juga. Bahkan, Ibu sudah mempersiapkan diri jika hal ini terjadi. Ibu sudah pernah berpikir bahwa suatu hari nanti, mungkin saja ayahmu akan menikah dengan perempuan yang lebih cantik dari Ibu. Ya, Ibu memang tidak cantik, tetapi Ibu tahu ayahmu mencintai Ibu. Ibu menganggap kalian berdua adalah kebahagian sekaligus ujian ketabahan bagi Ibu." Aku awalnya tidak mengerti mengapa ibu berkata seperti itu. Aku terus menangis.
Peristiwa pernikahan ayah membuat kehidupan keluargaku tidak berjalan seperti semula. Telingaku terus dijejali dengan gunjingan-gunjingan. Banyak yang mengatakan bahwa ibu tidak memiliki harga diri karena mau dimadu, ayahku adalah ayah yang kurang ajar, dan mereka merasa kasihan kepadaku. Hatiku perih sekali. Mereka tidak tahu bahwa semakin mereka menggunjingkan keluarga kami, aku semakin menyadari bahwa aku memiliki ibu yang pantas dibanggakan. Tetapi, sempat terbesit dalam benakku, bagaimana jadinya jika ibu memilih bercerai dari ayah? Aku akan menjadi anak ayam yang kehilangan induknya. Ketika aku sedang menangis karena rasa sakit, ketika itulah kulihat ibu bersujud di atas sajadahnya.
Ayah tidak lagi memperhatikan aku dan ibu. Ayah akhirnya benar-benar dibawa pergi perempuan itu, yang akhirnya kutahu bernama Isni. Kebangganku kepada ayah memudar dan kekagumanku kepada ibu semakin menguat. Ibu tidak pernah mengeluhkan kepergian ayah. Ibu malah selalu menasihatiku agar tidak membenci ayah. Aku semakin nyaman dengan keteduhan yang terpancar dari wajah ibu, bahkan lambat laun aku merasa tidak ada gunanya menyesali semuanya.
Aku bangga kepada ibu karena ternyata dia memiliki kecantikan yang terpancar dari hatinya. "Bu, siapa bilang aku tidak bangga kepadamu? Aku sangat bangga kepadamu. Aku tidak malu memiliki ibu sepertimu. Aku bangga dengan keputusan Ibu, apa pun itu, dan aku ingin seluruh dunia tahu betapa cantiknya dirimu," ujarku dalam hati sambil memandang ibu yang sedang menjahit pakaian demi menghidupi kami berdua.